Makalah ini disampaikan dalam ANTI-CORRUPTION WORKSHOP, Mandarin
Oriental Hotel, 11-12 Januari 2011.
Pemimpin-pemimpin pemerintah pasca Soeharto, mau tidak mau, diwarisi oleh semangat reformasi untuk mengoreksi situasi korup rezim terdahulu. Namun yang menakutkan dalam dua tahun terkahir ini, masalah korupsi di masa lalu belum juga ada tanda-tanda akan diselesaikan, sementara kasus-kasus korupsi baru mulai bermunculan ke permukaan. Sekiranya keadaan ini terus berianjut, bukan mustahil korupsi akan semakin subur dengan tingkat imu 1nitas yang dapat membuat masyarakat frustasi dan menerima realitas itu sebagai suatu ketidakberdayaan sosial.
Mengapa ini bisa terjadi? Barangkali akamya karena tidak ada komitmen dan kepemimpinan yang kuat untuk mengatasi korupsi dari ketiga pilar penyelenggara negara, yakni pengambil kebijakan, politisi dan penegak hukum.
Kesalahan vital dari pemerintah Gus Dur dalam pemberantasan korupsi yaitu tidak ada kemauan politik untuk memutus hubungan dengan masa lalu secara tegas, bahkan masih mempertahankan elite-elite lama di daiam pemerintahannya, sehingga karena itu ia menghadapi kesulitan-kesulitan dalam menyelesaiakan kasus-kasus korupsi di masa lalu dan menutup peluang-peluang lahirnya kasus-kasus korupsi baru. Barangkali Gus Dur agak ragu-ragu untuk "menghabisi" kekuatan lama karena masih percaya dengan mitos bahwa mereka masih memiliki mesin politik yang sewaktu-waktu dapat mengancam kekuasannya. Padahal untuk mengatasi korupsi di tanah air yang sudah berurat akar, diperlukan ada satu rezim baru yang bersih dan tidak memiliki konflik kepentingan untuk melanggengkan status quo.
Pemerintah sendiri memang tidak memiliki agenda reformasi anti korupsi yang jelas dan terencana, yang dapat dijadikan orientasi dari gerakan anti korupsi yang hidup di masayarkat. Pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), Komisi Ombudsman Nasional (KON), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kenaikan gaji pejabat nampak belum menunjukan hasil yang menggembirakan.
Reformasi Hukum
Penegakan hukum tidak hanya menyangkut independensi lembaga yudikatif terhadap eksekutif, tapi yang paling penting adanya kerangka hukum dan mekanisme untuk menegakannya untuk menjamin hak-hak warga negara dalam menegakan akuntabilitas pemerintah.
Kesalahan pertama yang dilakukan pemerintah justru tidak memprioritaskan penegakan hukum, sebagai agenda utama pemberantasan korupsi. Soejauh ini hukum nampak tidak berdaya di hadapan para konglomerat hitam dan elite kleptokrat. Kasus-kasus korupsi yang diproses secara hukum senantiasa dihentikan di tingkat penyidikan atau dibebaskan di pengadilan. Putusan MA yang memvonis Tomi Soeharto dan Ricardo Gelael dalam kasus korupsi ruislag Goro dan Bulog, merupakan kekecualian saja. Selama mereka yang korup tidak dijebloskan ke penjara, jangan harap korupsi akan berhenti sekalipun peluang untuk korupsi sudah diminimalisir.
Masyarakat senantiasa mengaitkan kinerja kejaksaan dengan latar belakang Jaksa Agung Marzuki yang bagian dari rezim lama. Tetapi jauh dari itu hal ini harus diakui, kejaksaan dan kepolisian yang di masa lalu menjadi aparat represif pemerintah Soeharto yang sangat efektif membungkam aktivis atau oposisi, sampai saat ini belum tersentuh reformasi. Masalah ini bertemali dengan realitas mafia peradilan yang juga nampak masih bercokol. Memang sudah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mensubstitusi fungsi kepolisian dan kejaksaan serta melibatkan unsur masyarakat. Tetapi independensi lembaga ini masih diragukan oleh masyarakat, dan Jaksa Agung tidak memberikan kewenangan penuh untuk menangani korupsi, sebatas yang dilimpahkan oleh kejaksaan.
Membersihkan mafia peradilan, yang melibatkan polisi, jaksa, hakim dan pengacara. Pembaharuan institusi hukum dan perundanga-undangan sekarang ini menjadi tidak ada artinya di tengan realita mafia peradilan. Program pembersihan lembaga peradilan harus dimulai dari MA, sebagai benteng terakhir pencari keadilan masyarakat. Pembersihan MA dari hakim yang kotor, sekarang ini dilakukan dengan cara konvensional, yaitu mengganti hakim yang pensiun dan merekrut hakim non karier. Proses rekruitmen hakim agung tersebut dinilai cukup baik karena berlangsung melalui suatu proses fit and proper test yang terbuka.
Revisi UU Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi No. 31 tahun 1999 belum mempermudah proses peradilan korupsi, karena belum mengakomodir asas pembuktian terbalik. Sekarang ini masayarakat sangat sulit untuk menyeret koruptor ke pengadilan karena harus cukup bukti, dan dalam pembuktian ini akan sangat dipengaruhi oleh kepentingan jaksa atau penyidik. Maka kalau penyidiknya bagian dari sindikasi korupsi, jangan harap koruptor akan diadili.
Reformasi Politik
Korupsi di tingkat elite lebih merupakan masalah politik. Maka kita bisa mengerti bagaimana ketiga pilar penyelenggara negara itu tidak berdaya atau cenderung melangengkan korupsi. Kita tahu ketiganya tidak sterit dari rezim lama yang korup. Pemilu yang lalu meski beriangsung secara lebih demokratis, terbukti tidak bisa melahirkan elite-elite politik yang memiliki integritas tinggi dan lepas dari masa lalu. Yang diharapkan akan lahir DPR yang kuat dan bersih untuk bisa melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan, malah sekarang masalah politik uang menjadi fenomena tersendiri. Partai politik yang kebanyakan dibentuk oleh elite, sumber keuangannya sangat tergantung dari kalangan pengusaha besar dan orang-orang mereka yang berada di pemerintahan atau BUMN, turut mempertahankan realitas patronasi politik dalam bisnis yang menjadi akar korupsi di tingkat atas. Dalam konteks ini bukan rahasia parpol membisniskan jabatan politik.
- Reformasi politik harus menjadi agenda utama dalam pemeberantasan korupsi, terutama dalam uapaya pembatasan dan pembagian kekuasaan yang seimbang dalam bubungan negara, sektor swasta dan civil society dengan memperkuat rule of law, memperkuat kapasitas anggota DPR dan civil society dan perubahan sistem pemilu.
- Pemberdayaan DPR menyangkut dengan reformasi sistem pemilihan umum. Sistem pemilu secara proporsional terbukti tidak menjamin public accountability dari anggota DPR. Realitas money politic di kalangan wakil rakyat harus dilihat bukan semata dari sisi moral para wakil rakyat, tapi juga sistem electoral yang membangun loyalitas mereka kepada elite parpol, bukan kepada rakyat. Pemilihan presiden secara tidak langsung, melalui wakil-wakil rakyat di MPR juga terbuka lebar bagi terjadinya jual-beli suara dari wakil rakyat kita, baik yang dipilih maupun yang diangkat.
- Pemberdayaan civil society yang paling penting dalam hal ini menyangkut pemberian akses masyarakat terhadap inforrnasi mengenai kebijakan pemerintah, sehingga kebijakan pemerintahan berdasar dapa preferensi masyarakat. Kebebasan pers menjadi tidak bermakna dalam menjalankan fungsi pengawasan, kalau tidak ada kebebasan memperoleh informasi.
Reformasi Birokrasi
Pencegahan korupsi yang paling strategis adalah menutup semua peluang terjadinya korupsi. Pintu-pintu korupsi itu sekarang sangat terbuka lebar, karena sistem pelayanan publik sangat birokratis. Ide subsidiaritas, untuk memperpendek perijinan atau pelayanan publik di tingkat birokrasi paling rendah, mungkin dapat dipertimbangkan untuk memangkas rantai birokrasi pemerintahan. Otonomi daerah harus dilihat sebagai upaya untuk mengikis sentralisasi kekuasaan administrasi pemerintahan yang kondusif bagi pemberantasan korupsi.
Agenda reformasi birokrasi pemerintahan harus termasuk didalamnya adalah pemberhentian secara massal/pensiun dini pimpinan-pimpinan puncak birokrasi dan BLTMN/D. Tanpa ada pembersihan birokrasi dan BUMN/D dari pejabat-pejabat lama yang korup, pemerintah akan gagal dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Peningkatan gaji di tingkat elite pemerintahan tidak akan efektif untuk mencegah korupsi, selama belum ada pembersihan birokrasi dari pejabat yang busuk.
Menilai Tingkat Korupsi Di Indonesia
Menilai Tingkat Korupsi Di Indonesia
Pembangunan terkadang dianggap sebagai tempat bagi
oknum-oknum tertentu untuk melakukan korupsi yang dapat menyebabkan
negara menderita kerugian. Begitu banyaknya korupsi terjadi di Indonesia
menyebabkan Indonesia menduduki peringkat ke- 122 atau merupakan negara
paling korup keenam dari 133 negara yang dinilai Transparancy
International Indonesia (TII). Peringkat tersebut berdasarkan nilai
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Transparansi Internasional 2010 yang
dihasilkan dari 13 survei independen oleh lembaga survei internasional.
Berdasarkan survei tersebut, diberikan IPK 1,9 untuk Indonesia. Rentang
nilai dalam pemberian indeks itu adalah 1-10 dengan angka 10 menunjukkan
negara paling bersih dari korupsi. Nilai ini tidak berbeda dengan tahun
lalu, dimana dari 102 negara, Indonesia menjadi urutan ke-96 atau
peringkat keempat negara paling korup
Dalam mengukur tren korupsi di Indonesia ini, ICW menggunakan data kasus korupsi yang statusnya dalam tahap penyidikan oleh aparat penegak hukum, yaitu kejaksaan, kepolisian, dan KPK pada periode 1 Juli sampai 31 Desember 2010. Selain itu, metode penelitian dilakukan dengan cara mengambil sumber data dari media massa, termasuk situs resmi lembaga penegak hukum.
Berdasarkan penelitian ICW, sektor infrastruktur menjadi sektor yang paling korup. Sementara sektor pertambangan sebagai sektor yang menyumbangkan kerugian negara paling besar. Selama periode 1 Juli - 31 Desember 2010, jumlah kasus korupsi di sektor infrastruktur mencapai 53 kasus. Jumlah tersebut menunjukkan tren peningkatan jumlah kasus korupsi di sektor infrastruktur dibandingkan semester pertama tahun 2010, yang berjumlah 32 kasus. Jika ditinjau dari potensi kerugian negara, sektor pertambangan, keuangan daerah, dan energi menjadi sektor yang paling korup.
Lima sektor korupsi yang menyumbangkan potensi kerugian negara terbesar, yakni sektor pertambangan sebanyak Rp 576 miliar (satu kasus), keuangan daerah Rp 344,7 miliar (44 kasus), energi Rp 240,3 miliar (empat kasus), pertanahan Rp 143 miliar (18 kasus), pajak 47,3 miliar (delapan kasus), dan infrastruktur 40,9 miliar (53 kasus).
Sementara di tingkat provinsi, Sumatra Utara menjadi provinsi dengan jumlah kasus korupsi paling banyak pada semester II 2010, yakni 38 kasus. Disusul oleh Bengkulu (23 kasus), Jawa Timur, Riau, dan Sulawesi Selatan (20 kasus). Adapun provinsi yang paling minim ditemukan kasus korupsi adalah Bali (lima kasus).
Indonesia
Corruption Watch (ICW) mendata terjadi peningkatan jumlah kasus korupsi
di daerah maupun pusat dari hasil penelitiannya di semester II ini
mencapai 272 kasus. Naik dari jumlah pada semester I yaitu 176. Potensi
kerugian negara yang ditimbulkan akibat kasus korupsi tersebut sebesar
Rp 1.546.584.862.400 atau 1,5 triliun. Jumlah kasus meningkat, jumlah
aktor pelaku tersangka korupsi yang ditetapkan oleh aparat penegak hukum
turut meningkat dari 441 tersangka di semester I menjadi 716 tersangka
di penelitian ICW semester II. Kebanyakan aktor tersangka merupakan
pegawai atau staf pemerintah daerah yang berjumlah 86 orang. Sisanya
berasal dari DPR dan DPRD berjumlah 82 orang, pejabat pelaksana teknis
kegiatan, 72 orang dan kepala dinas 70 orang. Aktor tersangka korupsi
paling banyak berlatar belakang sektor pegawai atau staf pemda saat ini.
Keberadaan KPK kok tidak mengurangi korupsi ya?
ConversionConversion EmoticonEmoticon